Mengenai Perbankan Elektronik Contoh: kartu kredit, ATM ( Sofkill Perbankan )

perbankan berbasis teknologi informasi di industri perbankan
dewasa ini memberikan dampak efisiensi dan efektivitas yang luar biasa. Sebagai
contoh, adanya produk-produk electronic bankingseperti ATM, Kartu Kredit,
Kartu Debet, Internet Banking, SMS/mobile banking, phone banking, dll,
telah mendorong layanan perbankan menjadi relatif tidak terbatas, baik dari
sisi waktu maupun dari sisi jangkauan geografis. Hal ini pada gilirannya telah
meningkatkan volume dan nilai nominal transaksi keuangan di perbankan secara
sangat signifikan.
Berdasarkan data di Bank Indonesia, transaksi elektronik yang
dilakukan dengan menggunakan kartu (kartu kredit, kartu debet, ATM, kartu
ATM + debet) di Indonesia selama jangka waktu Januari s/d Agustus 2008,
jumlah transaksi yang terjadi adalah sebanyak 980,4 juta transaksi dengan nilai
nominal transaksi Rp1.463.000.000.000,- (satu triliun empat ratus enam puluh
tiga milyar rupiah), dan jumlah kartu yang beredar sebanyak 51,35 juta kartu
yang diterbitkan oleh 118 penyelenggara (53 penerbit kartu ATM, 20 penerbit
kartu kredit, 38 penerbit kartu ATM+Debet, dan 7 penerbit kartu prabayar).3
Pemanfaatan teknologi informasi bagi industri perbankan dalam inovasi
produk jasa bank juga dibayang-bayangi oleh potensi risiko kegagalan sistem
dan/atau risiko kejahatan elektronik (cybercrime) yang dilakukan oleh orang-
orang yang tidak bertanggungjawab. Kegagalan sistem dapat disebabkan karena
adanya kerusakan sistem (seperti misalnya server down), dan dalam skala luas
bisa disebabkan karena adanya bencana alam. Sementara itu, cybercrimeyang
terjadi pada industri perbankan di Indonesia cenderung meningkat di Indonesia.
seperti terjadinya identity theft, carding, hacking, cracking, phising, viruses,
cybersquating, ATM fraud, dll. Berdasarkan data Bank Indonesia, terdapat
peningkatan yang signifikan terkait penipuan E-Banking dalam 2 tahun terakhir.
Pada tahun 2006 terdapat volume laporan 57,766 dengan nilai
Rp. 36.500.000.000.000,- (tiga puluh enam triliun lima ratus milyar rupiah),
sedangkan pada tahun 2007 terdapat volume laporan 532.533 dengan nilai
Rp. 45.700.000.000.000,- (empat puluh lima triliun tujuh ratus milyar rupiah)4
II. Hubungan Hukum Para Pihak Dalam Transaksi Elektronik
Transaksi yang dilakukan secara elektronik pada dasarnya adalah
perikatan ataupun hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik dengan
memadukan jaringan sistem elektronik berbasiskan komputer dengan sistem
komunikasi, yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer
global atau internet (videPasal 1 angka 2 UU ITE).5
Hubungan hukum merupakan merupakan hubungan antara dua pihak
atau lebih (subyek hukum) yang mempunyai akibat hukum (menimbulkan hak
dan kewajiban) dan diatur oleh hukum. Dalam hal ini hak merupakan
kewenangan atau peranan yang ada pada seseorang (pemegangnya) untuk
berbuat atas sesuatu yang menjadi obyek dari haknya itu terhadap orang lain.
Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus dipenuhi atau dilaksanakan
oleh seseorang untuk memperoleh haknya atau karena telah mendapatkan
haknya dalam suatu hubungan hukum. Obyek hukum adalah sesuatu yang
berguna, bernilai, berharga bagi subyek hukum dan dapat digunakan sebagai
pokok hubungan hukum. Sedangkan subyek hukum adalah segala sesuatu yang
dapat menjadi pendukung hak dan kewajibannya atau memiliki kewenangan
hukum (rechtsbevoegdheid).
Dalam lingkup privat, hubungan hukum tersebut akan mencakup
hubungan antar individu, sedangkan dalam lingkup public, hubungan hukum
tersebut akan mencakup hubungan antar warga negara dengan pemerintah
maupun hubungan antar sesama anggota masyarakat yang tidak dimaksud untuk
tujuan-tujuan perniagaan, yang antara lain berupa pelayanan publik dan transaksi
informasi antar organisasi Pemerintahan.
Dalam kegiatan perniagaan, transaksi memiliki peran yang sangat
penting. Pada umumnya makna transaksi seringkali direduksi sebagai perjanjian
jual beli antar para pihak yang bersepakat untuk itu, padahal dalam perspektif
yuridis, terminologi transaksi tersebut pada dasarnya ialah keberadaan suatu
perikatan maupun hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Makna
yuridis transaksi pada dasarnya lebih ditekankan pada aspek materiil dari
hubungan hukum yang disepakati oleh para pihak, bukan perbuatan hukumnya
secara formil. Oleh karena itu keberadaan ketentuan hukum mengenai perikatan
tetap mengikat walaupun terjadi perubahan media maupun perubahan tata cara
bertransaksi. Hal ini tentu saja terdapat pengecualian dalam konteks hubungan
hukum yang menyangkut benda tidak bergerak, sebab dalam konteks tersebut
perbuatannya sudah ditentukan oleh hukum, yaitu harus dilakukan secara
”terang” dan ”tunai”
Dalam lingkup keperdataan khususnya aspek perikatan, makna
transaksi tersebut akan merujuk keperdataan khususnya aspek perikatan, makna
transaksi hukum secara elektronik itu sendiri akan mencakup jual beli, lisensi,
asuransi, sewa dan perikatan-perikatan lain yang lahir sesuai dengan
perkembangan mekanisme perdagangan di masyarakat. Dalam lingkup publik,
maka hubungan hukum tersebut akan mencakup hubungan antara warga negara
dengan pemerintah maupun hubungan antar sesama anggota masyarakat yang
tidak dimaksudkan untuk tujuan-tujuan perniagaan. Mengenai definisi public,
dalam Black Law Dictionary disebutkan bahwa public is relating or
belonging to an entire community, state, or nation.
III. Kontrak Elektronik dan Kebebasan Berkontrak
Hubungan hukum dalam kontrak elektronik timbul sebagai perwujudan
dari kebebasan berkontrak, yang dikenal dalam KUH Perdata. Asas ini disebut
pula dengan freedom of contract atau laissez faire. Pasal 1338 KUHPerdata
menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku halnya
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” Mengenai freedom
of contract ini, menarik untuk disimak apa yang dipaparkan oleh Aduru
Rajendra Prasad sebagai berikut :
“The freedom of contract doctrine is an extension of ‘one of the
most cherished aspects of individual liberty. It is nothing but leaving
the parties as the best judges of their own bargains and persuading.
Asas kebebasan berkontrak disebut dengan “sistem terbuka”, karena
siapa saja dapat melakukan perjanjian dan apa saja dapat dibuat dalam
perjanjian itu.
Dengan demikian perjanjian mempunyai kekuatan mengikat sama
dengan undang-undang, bagi mereka yang membuat perjanjian. Pengertian ini
mengandung makna bahwa perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang
melakukan perjanjian, sehingga pihak ketiga atau pihak luar tidak dapat menuntut
suatu hak berdasarkan perjanjian yang dilakukan pihak-pihak yang melakukan
perjanjian tersebut.
Meskipun demikian, terdapat pembatasan terhadap kebebasan
berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam Pasal
tersebut dinyatakan bahwa perjanjian sah, apabila didasarkan pada :
1. Kesepakatan dari mereka yang mengikatkan diri (agreement);
2. Kecakapan dari pihak-pihak (Capacity);
3. Mengenai hal tertentu (Certainty of terms);
4. Suatu sebab yang halal (Consideration).
IV. Kontrak Elektronik dan Klausula Baku
Hubungan keperdataan antara para pihak dalam transaksi
elektronik dituangkan dalam dokumen elektronik dan mengikat para
pihak. Kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui
sistem elektronik.9 Dalam hal ini dokumen elektronik harus dipahami
sebagai bentuk kesepakatan para pihak, yang bukan hanya diformulasikan
dalam bentuk perjanjian elektronik namun juga dalam fitur-fitur yang
disediakan, seperti “I agree, I accept” sebagai bentuk persetujuan/kesepakatan.
Melihat formulasinya, maka kontrak elektronik tersebut merupakan perjanjian
baku.
Perjanjian dengan klausula baku atau Perjanjian Baku dikenal secara
beragam (standardized contract, standard contract). Perjanjian standar atau
perjanjian baku timbul karena adanya kebutuhan dalam praktek, karena
perkembangan perekonomian yang menyebabkan para pihak mencari format
yang lebih praktis. Biasanya salah satu pihak menyiapkan syarat-syarat yang
sudah distandarkan pada suatu format perjanjian yang telah dicetak, (formulir)
untuk kemudian diberikan kepada pihak lainnya untuk disetujui.
Pengertian klausula baku terdapat dalam Pasal 1 butir 10 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK),
yang menyatakan bahwa “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan
dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.
Mengenai perjanjian dengan klausula baku, E.H Hodunas dalam AZ,
Nasution 10 memberikan batasan sebagai berikut : “Perjanjian dengan syarat-
syarat konsep tertulis yang dimuat dalam perjanjian yang masih akan dibuat,
yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan isinya terlebih dahulu”.
Sedangkan Az Nasution memaparkan bahwa perjanjian dengan klausula baku
merupakan suatu perjanjian yang memuat syarat-syarat tertentu yang cenderung
lebih “menguntungkan” bagi pihak yang mempersiapkan atau merumuskannya.
Az Nasution berpendapat apabila dalam keadaan normal pelaksanaan
perjanjian diperkirakan akan terjadi sesuatu masalah, maka dipersiapkan sesuatu
untuk penyelesaiannya dalam perjanjian tersebut.11
Klausula-klausula yang telah ditetapkan dalam perjanjian disebut
sebagai syarat-syarat baku. Mengenai klausula baku, UU PK mengatur hal-
hal sebagai berikut : 12
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan / atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku
pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
b. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak pengembalian barang yang
telah dibeli konsumen;
c. Menyatakan pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang
yang dibayarkan atas barang atau jasa yang sudah dibeli oleh konsumen.
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran;
e. Mengatur tentang pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
jasa yang dibeli konsumen;
f. Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau harta konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berwujud
sebagai aturan baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan
jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap
barang yang dibeli secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang
pengungkapannya sulit dimengerti;
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen
atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.13
Selain klausula baku, terdapat pula klausula eksonerasi (exoneratie
clause), yaitu sebagai klausula untuk mengalihkan kewajiban atau
tanggungjawab pelaku usaha. Perjanjian eksonerasi membebaskan
tanggungjawab seseorang pada akibat hukum yang terjadi karena kurangnya
kewajiban yang diharuskan oleh perundang-undangan. Sebagai contoh adalah
ganti rugi dalam hal perbuatan ingkar janji. Dalam hal persyaratan eksonerasi
mencantumkan hal tersebut, maka ganti rugi tidak dijalankan.
V. Transaksi Elektronik dan Terjadinya Kesepakatan
Dalam pengertian konvensional, suatu transaksi terjadi jika terdapat
kesepakatan (dua orang atau lebih terhadap suatu hal) yang dapat dilakukan
secara tertulis maupun tidak tertulis. Kesepakatan tertulis lazim dituangkan dalam
suatu perjanjian yang ditanda-tangani oleh para pihak yang berkepentingan.
Tanda tangan membuktikan bahwa seseorang mengikatkan diri terhadap klasul-
klausul yang dituangkan dalam perjanjian tersebut.
Di dunia internet, kesepakatan terjadi secara elektronik. UU ITE
mengakui transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik yang
mengikat para pihak (videPasal 18 ayat (1)). Menjadi pertanyaan adalah kapan
suatu transaksi elektronik yang dilakukan melalui internet terjadi. Berdasarkan
Pasal 20 UU ITE, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi
yang dikirim oleh Pengirim diterima dan disetujui oleh Penerima. Namun
persetujuan tersebut harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara
elektronik (misalnya dengan mengirimkan email konfirmasi).
Pasal 20 UU ITE tersebut merupakan konsepsi dari pengaturan sistem
hukum civil law yang dianut oleh Eropa daratan. Pihak yang memberikan
penawaran (pengirim) adalah pihak yang mengiklankan barang/jasa melalui
internet (misalnya amazon.com). Mengenai hal tersebut, dalam sistem hukum
common law (Eropa continental) dikenal pengaturan mengenai invitation to
trade, tentang pelaku dalam transaksi elektronik. Namun demikian invitation
to trade dalam sistem hukum common law tersebut mengatur hal yang
sebaliknya, yaitu bahwa pihak yang dianggap memberikan penawaran adalah
calon pembeli barang/jasa, dan pihak penerima adalah pihak yang mengiklankan
barang/jasa di internet (amazon.com). Berkenaan dengan transaksi elektronik
secara borderless. Dengan demikian, sangat perlu diperhatikan mengenai para
pihak yang akan bertransaksi beserta sistem hukum yang akan diberlakukan,
karena akan terkait dengan konsekuensi hukum. Berkenaan dengan hal tersebut,
UU ITE telah mengatur mengenai pilihan hukum, yaitu bahwa para pihak
memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi
elektronik internasional yang dibuatnya. Jika para pihak tidak melakukan pilihan
hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan
pada asas hukum perdata internasional (vide Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3)
UU ITE).
VI. Prinsip-prinsip Pertanggung Jawaban
Edmon Makarim dalam bukunya pengantar Hukum Telematika
mengemukakan beberapa prinsip tanggung jawab pelaku usaha dalam hukum
yang dibedakan sebagai berikut :
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (fault
liability/liability based on fault)
Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintai
pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukannya. Prinsip ini tergambar dalam ketentuan Pasal 1365, Pasal
1366 dan Pasal 1367 KUH Perdata. Pasal 1365 KUH Perdata
mengharuskan adanya 4 (empat) unsur pokok untuk dapat dimintai
pertanggungjawaban hukum dalam perbuatan melawan hukum, yaitu adanya
perbuatan, unsur kesalahan, kerugian yang diderita, dan hubungan kausalita
antara kesalahan dan kerugian.
Pengertian perbuatan melawan hukum yang lebih luas dapat dilihat dalam
yurisprudensi Arrest Hoge Raad kasus Cohen-Lindenbaum, yaitu suatu
perbuatan melawan (onrechmatige daad) sebagai suatu perbuatan atau
kealpaan yang bertentangan dengan hak orang lain, atau atau bertentangan
dengan kesusilaan dan keharusan dalam pergaulan hidup. Dengan demikian
terdapat 4 (empat) unsur suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan
melawan hukum, yaitu :
a. perbuatan tersebut bertentangan dengan hak orang lain;
b. bertentangan dengan kewajiban hukum sendiri;
c. bertentangan dengan kesusilaan;
d. bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan
masyarakat.
Berkenaan dengan prinsip ini, akan mengemuka persoalan mengenai
”subyek hukum pelaku kesalahan” (Pasal 1367 KUH Perdata). Dalam
doktrin hukum dikenal adanya vicorious liabilitydan corporate liability.
Vicorious liabilitymerupakan pertanggung jawaban atas kesalahan orang
yang berada dibawah pengawasan majikan. Jika orang tersebut dipindahkan
pada penguasaan pihak lain, maka tanggung jawabnya juga beralih kepada
pihak lain tersebut. Sementara itu corporate liabilitylebih menekankan
pada tanggung jawab lembaga/korporasi terhadap tenaga yang
dipekerjakannya. Misalnya hubungan hukum antara bank nasabah, semua
tanggung jawab atas pekerjaan pegawai bank yang dilakukan di bank
tersebut adalah menjadi beban tanggung jawab bank.
3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip kedua dan hanya dikenal
dalam lingkup transaksi yang sangat terbatas yang secara common sense
dapat dibenarkan. Misalnya seseorang yang minum air di kali tanpa dimasak
terlebih dahulu, apabila sakit tidak dapat menuntut pabrik yang terletak
disekitar sungai tersebut. Seharusnya ia memasak air itu terlebih dahulu.
4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability).
Prinsip ini menetapkan bahwa suatu tindakan dapat dihukum atas dasar
perilaku berbahaya yang merugikan (harmful conduct) tanpa
mempersoalkan ada tidaknya kesengajaan (intention) atau kelalaian
(negligence). Prinsip ini menegaskan hubungan kausalitas antara subyek
yang bertanggung jawab dan kesalahan dibuatnya, dengan memperhatikan
adanya force majeur sebagai faktor yang dapat melepaskan diri dari
tanggung jawab.
Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlidungan konsumen
diterapkan pada produsen yang memasarkan produk cacat sehingga dapat
merugikan konsumen (product liability).
5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan
Prinsip ini sering dipakai pelaku usaha untuk membatasi beban tanggung
jawab yang seharusnya ditanggung oleh mereka, yang umumnya dikenal
dengan pencantuman klausa ekonerasi dalam perjanjian standar yang
dibuatnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bentuk-bentuk tanggung
jawab dari pelaku usaha yang terdapat dalam UUPK adalah sebagai berikut:
1. Contractual liability
Yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari
pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau memanfaatkan
jasa yang diberikannya.
2. Product liability
Adalah tanggung jawab perdata secara langsung (strict liability) dari
pelaku usaha atas kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan
produk yang dihasilkannya. Pertanggung jawaban ini diterapkan dalam
hal tidak terdapat hubungan perjanjian (no privity of contract) antara
pelaku usaha dan konsumen
3. Professional liability
Dalam hal hubungan perjanjian merupakan prestasi yang terukur
sehingga merupakan perjanjian hasil, tanggung jawab pelaku usaha
didasarkan pada pertanggung jawaban profesional yang menggunakan
tanggung jawab perdata atas perjanjian/kontrak (contractual liability)
dari pelaku usaha sebagai pemberi jasa atas kerugian yang dialami
konsumen.
4. Criminal liability
Dalam hubungan pelaku usaha dengan negara dalam memelihara
keamanan masyarakat, tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada
pertanggungjawaban pidana (criminal liability).14
VII. Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem ElektronikElektronik
dalam Transaksi Electronic Banking (e-banking)
Bank adalah lembaga kepercayaan, dalam menjalankan kegiatan
electronic banking (e-banking) harus pula diselenggarakan dengan
memperhatikan ketentuan maupun prinsip-prinsip kehati-hatian dan manajemen
risiko terkait penyelenggaraan e-bankingkhususnya risiko reputasi dan risiko
hukum.
E-banking merupakan delivery channel dalam industri perbankan,
dan hubungan keperdataan yang timbul terkait e-bankingberupa hubungan
rekening antara bank dan nasabahnya. Dalam hal ini, permasalahan hukum
akan timbul apabila transaksi elektronik yang dilakukan gagal, siapakah yang
harus bertanggung jawab terhadap kegagalan transaksi tersebut ?.
Pemahaman mengenai bentuk tanggung jawab para pelaku dimulai dari
adanya hubungan hukum yang terjadi diantara kedua belah pihak dalam suatu
perikatan. Hubungan hukum antara penyedia jasa dan konsumen (nasabah)
pada akhirnya melahirkan suatu hak dan kewajiban yang mendasari terciptanya
suatu tanggung jawab.15
Mengenai permasalahan pertanggungjawaban, beberapa negara telah
mengatur, sebagai berikut :
1. Di Amerika Serikat, Electronic Fund TrasferAct 1978 (EFTA) mengatur
kerangka dasar penetapan hak, kewajiban dan tanggung jawab peserta

3. Professional liability
Dalam hal hubungan perjanjian merupakan prestasi yang terukur
sehingga merupakan perjanjian hasil, tanggung jawab pelaku usaha
didasarkan pada pertanggung jawaban profesional yang menggunakan
tanggung jawab perdata atas perjanjian/kontrak (contractual liability)
dari pelaku usaha sebagai pemberi jasa atas kerugian yang dialami
konsumen.
4. Criminal liability
Dalam hubungan pelaku usaha dengan negara dalam memelihara
keamanan masyarakat, tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada
pertanggungjawaban pidana (criminal liability).14
VII. Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem ElektronikElektronik
dalam Transaksi Electronic Banking (e-banking)
Bank adalah lembaga kepercayaan, dalam menjalankan kegiatan
electronic banking (e-banking) harus pula diselenggarakan dengan
memperhatikan ketentuan maupun prinsip-prinsip kehati-hatian dan manajemen
risiko terkait penyelenggaraan e-bankingkhususnya risiko reputasi dan risiko
hukum.
E-banking merupakan delivery channel dalam industri perbankan,
dan hubungan keperdataan yang timbul terkait e-bankingberupa hubungan
rekening antara bank dan nasabahnya. Dalam hal ini, permasalahan hukum
akan timbul apabila transaksi elektronik yang dilakukan gagal, siapakah yang
harus bertanggung jawab terhadap kegagalan transaksi tersebut ?.
Pemahaman mengenai bentuk tanggung jawab para pelaku dimulai dari
adanya hubungan hukum yang terjadi diantara kedua belah pihak dalam suatu
perikatan. Hubungan hukum antara penyedia jasa dan konsumen (nasabah)
pada akhirnya melahirkan suatu hak dan kewajiban yang mendasari terciptanya
suatu tanggung jawab.15
Mengenai permasalahan pertanggungjawaban, beberapa negara telah
mengatur, sebagai berikut :
1. Di Amerika Serikat, Electronic Fund TrasferAct 1978 (EFTA) mengatur
kerangka dasar penetapan hak, kewajiban dan tanggung jawab peserta.
yang terlibat dalam transfer dana elektronik. Istilah “Transfer Dana Elektronik
secara luas meliputi transaksi elektronik yang dimulai melalui terminal,
telepon, komputer, atau pita perekam suara yang berisi perintah konsumen
bagi lembaga keuangan untuk mendebet atau mengkredit rekening
konsumen. (Federal Trade Commission, 2006).
2. Di Australia, Kode Etik (Pedoman) Transfer Dana Elektronik telah dirilis
pada tahun 2002. Kode ini bertujuan untuk perlindungan konsumen dalam
bentuk penggunaan teknologi netral untuk penyelenggaraan e-bankingdan
pembayaran produk. (Sneddon, 2001).
3. Di Denmark, di bawah undang-undang Instrumen Pembayaran tertentu,
diatur bahwa dalam hal terjadi pelanggaran/penipuan oleh orang lain yang
menyebabkan kerugian bagi pemegang kartu, maka penerbit yang
bertanggung jawab, kecuali karena PIN digunakan oleh orang lain.
Sebagaimana diketahui PIN bersifat pribadi dan rahasia sehingga PIN
menjadi tanggung jawab pemegang kartu.
Di Indonesia, selain perjanjian yang mengatur hubungan keperdataan,
hukum positif yang mengatur tentang tanggung jawab penyelenggaraan transaksi
elektronik adalah UU ITE. Dalam rangka perlindungan konsumen, UU ITE
mengatur adanya teknologi netral yang dipergunakan dalam transaksi elektronik,
serta mensyaratkan adanya kesepakatan penggunaan sistem elektroniki yang
dipergunakan.
Selain itu setiap penyelenggara sistem elektronik diwajibkan untuk
menyediakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab
terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya. Penyelenggara
sistem elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem
elektroniknya.
Namun demikian ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal dapat
dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak
pengguna system elektronik (videPasal 15 UU ITE).
UU ITE juga mengatur bahwa sepanjang tidak ditentukan lain oleh
UU tersendiri, setiap penyelenggara system elektronik wajib mengoperasikan
sistem elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut,16 yaitu :
a. dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan
Peraturan perundang-undangan.
b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan
keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan system elektronik
tersebut.
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
penyelenggaraan system elektronik
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa,
informasi, atau symbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan
dengan penyelenggaraan system elektronik
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan,
dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Terkait dengan para pihak yang melakukan kegiatan transaksi elektronik
diatur bahwa pengirim atau penerima dapat melakukan transaksi elektronik
sendiri, melalui pihak yang dikuasakan olehnya, atau melalui agen elektronik.
17 Dalam hal ini pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam
pelaksanaan transaksi elektronik adalah :18
a. Jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi
elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi.
b. Jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam
pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa.
c. Jika dilakukan melalui agen elektronik segala akibat hukum dalam
pelaksanaan transaksi elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara
agen elektronik.
d. Jika kerugian transaksi elektronik disebabkan gagal beropersinya agen
elektronik akibat tindakan pihak ketiga secara langsung terhadap sistem
elektronik, segala akibat hukum menjadi tanggung jawab penyelenggara
agen elektronik. Namun demikian jika kerugian transaksi elektronik
disebabkan gagal beroperasinya agen elektronik akibat kelalaian pihak
pengguna jasa layanan, segala kibat hukum menjadi tanggung jawab
pengguna layanan. Ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal dapat
dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan /atau kelalaian
pihak pengguna sistem elektronik.
Dalam rangka memberikan perlindungan dan keamanan bagi
penyelenggaraan kegiatan transaksi elektronik, sejalan dengan UU ITE, Bank
Indonesia telah menerbitkan berbagai pengaturan (regulasi) terkait penggunaan.
teknologi informasi bagi perbankan dan lembaga penyelenggara sistem
pembayaran dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank
Indonesia. Pengaturan tersebut antara lain ditujukan untuk meningkatkan
keamanan, integritas data, dan ketersediaan layanan electronic banking,
misalnya dengan mewajibkan seluruh penerbit kartu untuk menggunakan chip
pada kartukartu pembayarannya, menggunakan ‘two factors authentication
pada transaksi on-line yang bersifat financial, melakukan enkripsi pada
transaksi mobile banking.19
Penyusunan ketentuan mengenai Penerapan Manajemen Risiko Dalam
penggunaan Teknologi Informasi Oleh Bank dalam PBI No. 9/15/PBI/2007
dimaksudkan untuk menjadi pokok-pokok penerapan manajemen risiko dalam
penggunaan teknologi informasi yang harus diterapkan oleh Bank untuk
memitigasi risiko yang berhubungan dengan penyelenggaraan teknologi
informasi. Hal ini mengingat terdapat risiko yang dapat merugikan Bank dan
nasabah seperti risiko opersional, risiko hukum , dan risiko reputasi selain risiko
perbankan lainnya seperti risiko likuiditas dan risiko kredit.20
Dalam PBI dimaksud diatur bahwa Bank dapat menyelenggarakan
teknologi informasi sendiri dan/atau menggunakan jasa pihak penyedia jasa
teknologi informasi sepanjang memenuhi persyaratan antara lain :
a. Bank bertanggung jawab atas penerapan manajemen risiko
b. Pihak penyedia jasa harus menjamin keamanan seluruh informasi termasuk
rahasia bank dan data pribadi nasabah.
c. Pihak penyedia jasa tetap memberikan akses kepada auditor intern, ekstern
dan Bank Indonesia.
d. Pihak penyedia jasa harus bersedia untuk kemungkinan early termination
apabila menyulitkan fungsi pengawasan Bank Indonesia.
Penggunaan pihak penyedia jasa teknologi informasi oleh Bank
(outsource) harus didasarkan pada perjanjian tertulis, dengan memperhatikan
prinsip kehati-hatian, manajemen risiko dan didasarkan pada hubungan
kerjasama secara wajar.
sumber diambil dari : http://www.djpp.depkumham.go.id/…/665-tanggung-jawab-penyelenggara-sistem-elektronikperbankan-dalam-kegiatan-transaksi-elektronik-…



Tentang riankostans

Ingin Menjadi Orang Sukses...
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar